Munculnya pasangan calon tunggal ini berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2015, yang melegalkan pasangan calon tunggal dalam Pilkada. Keputusan tersebut, semula diharapkan menjadi solusi, atas kebuntuan demokrasi.
UU No. 8/2015 yang sekarang telah diubah menjadi UU No. 10/2016 tentang Pilkada mensyaratkan minimal dua pasangan calon kepala daerah. MK dengan pertimbangan untuk memberi kepastian berjalannya demokrasi, memutuskan pilkada tetap dilaksanakan sekalipun meski hanya dengan calon tunggal.
Melalui keputusan MK No.100/PUU-XII/2015 daerah dengan calon tunggal, hanya ada pilihan setuju atau tidak terhadap calon tersebut. (Baca juga: Pasangan Calon Tunggal Bisa Ikut Pilkada)
Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam Pasal 54C UU No.10/2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyatakan pemilihan pasangan calon tunggal bisa dilaksanakan jika setelah penundaan dan memperpanjang pendaftaran tetap hanya ada satu pasangan bakal calon yang mendaftar. Lalu dari hasil penelitian, pasangan calon memenuhi syarat.
Meski belum ada yang mendaftar dari pemantau pilkada (yang memiliki akraditas KPU) daerah setempat tentang calon tunggal yang bersengketa, Fajar Laksono, Juru Bicara MK mengatakan aturan yang digunakan dalam hal perselisihan yang terjadi didaerah dengan pasangan calon tunggal yaitu menggunakan PMK No.2 Tahun 2015 yang telah di ubah menjadi PMK No. 2 Tahun 2017. (Baca juga:Tanggal Ini, MK Mulai Sidangkan Sengketa Pilkada Serentak Kedua)
Penjelasan dari PMK No. 2 Tahun 2015 yang sekarang berubah menjadi PMK No. 2 Tahun 2017 ini mengatur siapa yang memiliki legal standing (kedudukan hukum) mengajukan gugatan sengketa pilkada dalam hal hanya ada satu pasangan calon.
Pasangan calon tunggal yang bersangkutan dalam hal perolehan suara “tidak setuju” lebih banyak dari pada yang “setuju”. Pemantau Pemilu nasional atau lokal dalam hal perolehan suara “setuju” lebih banyak daripada yang “tidak setuju”.
“Rakyat dihadapkan pada pilihan setuju atau tidak setuju terhadap calon tunggal yang ada dalam pilkada. Apabila suara rakyat banyak memilih setuju, maka pasangan calon tersebut ditetapkan sebagai kepala dan wakil kepala daerah terpilih,” kata Fajar.
Fajar menjelaskan, pemantau Pilkada hanya bisa mengajukan permohonan ke MK sesuai Pasal 8 PMK No.2 Tahun 2017. Bila perselisihan perolehan suara di provinsi sebanyak 2% jika jumlah penduduknya 2 juta jiwa, lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa perbedan suara paling banyak 1,5 %.
“Jika penduduknya lebih dari enam juta jiwa sampai 12 juta jwa perbedaan suara paling banyak 1 %, jika penduduknya lebih dari dua belas juta jiwa perbedaan suaranya paling banyak selisih 0,5 % sesuai dengan total suara sah hasil penghitungan tahap akhir,” katanya.
Untuk Kabupaten/Kota jika jumlah penduduk lebih dari dua ratu lima puluh jiwa harus memiliki perbedaan suara sebanyak 2 %, jika jumlah penduduk lebih dari dua ratu lima puluh jiwa sampai pada lima ratus jiwa maka perbedaan suara nya harus sebanyak 1,5%.
“jika penduduknya lebih dari 500 jiwa sampai 1 juta jiwa perbedaan suaranya sebanyak 1 %, jika jumlah penduduknya lebih dari 1 juta jiwa perbedaan suara nya paling banyak sebesar 0,5% sesuai total suara sah hasil penghitungan tahap akhir,” sambungnya.
Pemeriksaan pemilihan sengketa pemilihan calon tunggal sesuai PMK No. 2 tahun 2016 yang diubah menjadi PMK No.2 tahun 2017 dilaksanakan melalui pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan yang dilaksanakan dalam Sidang Panel atau Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Terkait tahapan, kegiatan dan penanganan sengketa pilkada calon tunggal sama dengan sengketa yang memiliki dua pasangan calon atau lebih, sesuai aturan PMK No. 3 tahun 2017 tentang Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penganganan Perkara Perselisihan Hasil Pilkada dan PMK No. 4 tahunn 2017 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait.
Baru Terima 11 Paslon Bersengketa
Juru Bicara Makhamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengatakan ada 11 daerah yang mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada Serentak 2017 hingga 24 Februari. Seluruh daerah itu telah mengajukan permohonan gugatan sengketa Pilkada secara langsung.
Daerah tersebut adalah Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), Kabupaten Bengkulu Tengah (Bengkulu), Kabupaten Gayo Lues (Aceh), Kabupaten Dogiyai (Papua), Kota Kendari (Sulawesi Tenggara), Kota Salatiga (Jawa Tengah) dan Kabupaten Bombana (Sulawsi Tenggara), Kabupaten Kepulauan Morotai (Maluku Utara), Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), Kabupaten Nagan Raya (Aceh) dan Kabupaten Tebo (Jambi).
Di antara 11 daerah itu, ada dua daerah, yakni Kabupaten Bombana dan Kabupaten Salatiga yang sesuai perkiraan sebelumnya akan mengajukan gugatan sengeketa Pilkada. Sementara beberapa daerah lain yang diperkirakan akan mengajukan gugatan, yakni Banten dan Sumatra Barat hingga saat ini belum mengajukan permohonan.
Fajar menjelaskan pihaknya belum dapat menyampaikan rincian penyebab pengajuan gugatan sengketa Pilkada. “Kami belum tahu sebab permohonan belum ditelaah lebih lanjut. Nanti akan dipelajari setelah proses pengajuan formil selesai, “katanya.
Fajar menyampaikan, loket akan dibuka selama hari kerja, sejak pukul 07.30 hingga 24.00 WIB. “Sabtu dan Minggu, tutup,” ujarnya.
Fajar pun mengingatkan agar daerah yang ingin mengajukan gugatan segera mengirimkan permohonan ke MK. Jika letak geografis jauh, pengajuan bisa dikirimkan secara online.